Refleksi Akhir Tahun 2025: Organisasi Advokat Bersatu dalam Dewan Kehormatan Profesia Advokat

awalindo.com – Ketua Umum PERADI AWALINDO, Dr. Aulia Taswin, SH., MH pada Forum Grup Diskusi yang diselenggarakan oleh Awalindo Education of Law, 28/12/2025, dihadiri para advokat dan paralegal LBH Awalindo. Aulia Taswin menyampaikan bahwa organisasi advokat ke depan idealnya fokus pada penguatan kembali fungsi dan efektivitas Dewan Kehormatan Profesi Advokat (“Dewan Kehormatan”) dengan bertumpu pada kewajiban dan kewenangan yang sudah secara tegas diberikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”). Ada 6 (enam) hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Menilai kembali efektivitas penegakan kode etik dan putusan Dewan Kehormatan

Organisasi advokat wajib melakukan evaluasi menyeluruh atas pelaksanaan kode etik selama tahun berjalan karena UU Advokat menegaskan bahwa:
1. Kode etik disusun oleh organisasi advokat “untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi Advokat” menurut Pasal 26 ayat (1) UU Advokat, sehingga evaluasi tahunan harus mengukur apakah standar etik yang ada betul-betul menjaga martabat dan kehormatan profesi.
2. Setiap advokat “wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat” menurut Pasal 26 ayat (2) UU Advokat, sehingga organisasi harus menilai tingkat kepatuhan anggota terhadap kode etik dan kepatuhan mereka terhadap proses di Dewan Kehormatan.
3. Kode etik “tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan” sebagaimana diatur Pasal 26 ayat (3) UU Advokat, sehingga organisasi perlu melakukan legal review berkala atas norma-norma kode etik dan regulasi Dewan Kehormatan terhadap perkembangan putusan Mahkamah Konstitusi dan peraturan perundang‑undangan terbaru.

Dalam kerangka ini, organisasi advokat dapat secara internal mengaudit:
Konsistensi sanksi yang dijatuhkan dengan jenis pelanggaran sebagaimana diatur Pasal 7 ayat (1) UU Advokat yang membatasi jenis tindakan pada teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara 3–12 bulan, dan pemberhentian tetap.
Kesesuaian prosedur pemeriksaan dan peradilan etik oleh Dewan Kehormatan dengan prinsip fairness karena Pasal 7 ayat (3) UU Advokat mewajibkan diberikannya kesempatan pembelaan diri sebelum advokat dikenai tindakan

2. Memperkuat kelembagaan dan tata kerja Dewan Kehormatan (Pusat dan Daerah)

UU Advokat mengharuskan organisasi advokat membentuk Dewan Kehormatan secara berjenjang dan mengatur susunan serta kewenangannya dalam kode etik, sehingga refleksi akhir tahun 2025 harus mencakup penilaian kelembagaan, yaitu:
1. Organisasi advokat wajib “membentuk Dewan Kehormatan Organisasi Advokat baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah” menurut Pasal 27 ayat (1) UU Advokat, sehingga perlu dikaji apakah seluruh wilayah sudah memiliki Dewan Kehormatan daerah yang operasional.
2. Pasal 27 ayat (2) UU Advokat menentukan bahwa Dewan Kehormatan daerah mengadili pada tingkat pertama dan Dewan Kehormatan pusat mengadili pada tingkat banding dan terakhir, sehingga organisasi perlu menilai efektivitas mekanisme banding, beban perkara di pusat, dan konsistensi putusan antara daerah dan pusat.
3. Keanggotaan Dewan Kehormatan wajib terdiri dari “unsur Advokat” menurut Pasal 27 ayat (3) UU Advokat dan dalam mengadili, majelis harus terdiri dari unsur Dewan Kehormatan, pakar/tenaga ahli di bidang hukum, dan tokoh masyarakat menurut Pasal 27 ayat (4) UU Advokat, sehingga organisasi harus menilai kecukupan kualitas, kapasitas, dan independensi komposisi majelis serta keterlibatan tokoh masyarakat seperti ahli agama/etika sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 27 ayat (4) UU Advokat.
UU Advokat secara eksplisit memerintahkan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tugas, dan kewenangan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat diatur dalam Kode Etik” menurut Pasal 27 ayat (5) UU Advokat, sehingga setiap akhir tahun organisasi perlu menilai apakah pengaturan tugas dan kewenangan Dewan Kehormatan dalam kode etik masih memadai, presisi, dan sejalan dengan praktik satu tahun terakhir.

3. Evaluasi mekanisme pengaduan, pemeriksaan, dan penindakan terhadap advokat

Pengawasan dan penindakan menjadi inti fungsi Dewan Kehormatan, sehingga organisasi advokat harus menilai apakah mekanisme yang ada sudah efektif dan accessible bagi publik dan anggota, yaitu:
1. UU Advokat menegaskan bahwa pengawasan terhadap advokat dilakukan oleh organisasi advokat menurut Pasal 12 ayat (1) UU Advokat dengan tujuan agar advokat menjunjung tinggi kode etik dan peraturan perundang‑undangan sebagaimana Pasal 12 ayat (2) UU Advokat, sehingga organisasi perlu menilai apakah pengawasan yang dijalankan sepanjang 2025 memberi efek pencegahan yang cukup terhadap pelanggaran etik.
2. Advokat dapat dikenai tindakan antara lain karena “mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya” menurut Pasal 6 huruf a UU Advokat, “melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan atau harkat dan martabat profesinya” berdasarkan Pasal 6 huruf d UU Advokat, serta “melanggar sumpah/janji advokat dan/atau kode etik profesi advokat” sebagaimana Pasal 6 huruf f UU Advokat, sehingga organisasi harus menelaah kembali pola pelanggaran yang dominan selama tahun 2025 dan apakah pedoman penanganan etik sudah cukup rinci untuk masing‑masing kategori.
3. Penindakan terhadap advokat untuk semua jenis tindakan sanksi Pasal 7 ayat (1) UU Advokat “dilakukan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sesuai dengan kode etik profesi Advokat” menurut Pasal 8 ayat (1) UU Advokat, sehingga organisasi wajib mengevaluasi kecepatan, transparansi, dan akuntabilitas proses Dewan Kehormatan dari tahap penerimaan pengaduan, pemeriksaan, sampai pengucapan putusan.
4. Untuk sanksi pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap, organisasi advokat wajib menyampaikan putusan Dewan Kehormatan kepada Mahkamah Agung menurut Pasal 8 ayat (2) UU Advokat dan menindaklanjuti pemberhentian tersebut melalui mekanisme Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) UU Advokat, sehingga pada refleksi akhir tahun organisasi perlu menilai konsistensi hubungan administratif antara Dewan Kehormatan, pengurus organisasi, dan Mahkamah Agung/pengadilan tinggi terkait pelaporan putusan etik.

4. Harmonisasi penegakan kode etik dengan sanksi pidana dan perlindungan profesi

UU Advokat mewajibkan Dewan Kehormatan memeriksa pelanggaran etik tanpa menghapus kemungkinan pertanggungjawaban pidana, sehingga organisasi advokat pada akhir tahun perlu menilai hubungan antara proses etik dan proses pidana, yaitu:
1. Pasal 26 ayat (6) UU Advokat menyatakan bahwa keputusan Dewan Kehormatan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran kode etik mengandung unsur pidana, sehingga organisasi harus mengevaluasi apakah sepanjang tahun 2025 telah terjadi koordinasi yang tepat antara Dewan Kehormatan dan aparat penegak hukum dalam perkara-perkara etik yang bermuatan pidana.
2. Di sisi lain, advokat mendapat perlindungan bahwa mereka “tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan” sebagaimana dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 16 UU Advokat, sehingga organisasi perlu memastikan bahwa Dewan Kehormatan membedakan secara jelas antara pembelaan yang dilakukan dengan iktikad baik dan perbuatan tercela yang melanggar Pasal 6 huruf e UU Advokat yang melarang pelanggaran peraturan perundang‑undangan dan/atau perbuatan tercela.

5. Penguatan hubungan Dewan Kehormatan dengan fungsi pengawasan internal

Selain Dewan Kehormatan, UU Advokat mengatur adanya Komisi Pengawas sebagai pelaksana pengawasan sehari‑hari, sehingga organisasi advokat harus meninjau sinergi dua organ ini, yaitu:

1. Pelaksanaan pengawasan sehari‑hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk organisasi advokat menurut Pasal 13 ayat (1) UU Advokat, sehingga perlu dinilai apakah alur kerja dari Komisi Pengawas ke Dewan Kehormatan sudah jelas, termasuk soal pelimpahan temuan, rekomendasi, dan dukungan administratif untuk proses pemeriksaan etik.
2. Keanggotaan Komisi Pengawas yang berasal dari unsur advokat senior, ahli/akademisi, dan masyarakat menurut Pasal 13 ayat (2) UU Advokat harus dikaji tiap tahun terkait integritas dan kapasitasnya, agar pengawasan yang dilakukan Komisi Pengawas benar‑benar menjadi basis yang kuat bagi pemeriksaan yang kemudian dilakukan Dewan Kehormatan sesuai Pasal 26 ayat (5) UU Advokat.

6. Penataan data, pelaporan, dan akuntabilitas organisasi advokat

Karena organisasi advokat memegang fungsi administratif dan pengaturan profesi, refleksi akhir tahun juga harus dihubungkan dengan kewajiban administratif yang berimplikasi pada tata kelola Dewan Kehormatan, yaitu:
1. Organisasi advokat wajib memiliki buku daftar anggota dan menyampaikan salinannya kepada Mahkamah Agung dan Menteri sebagaimana diatur Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) UU Advokat, sehingga di akhir tahun organisasi harus memastikan bahwa status anggota yang sedang dikenai sanksi Dewan Kehormatan (misalnya pemberhentian sementara atau tetap) tercermin secara akurat dalam daftar anggota.
2. Organisasi advokat juga wajib setiap tahun melaporkan pertambahan dan/atau perubahan jumlah anggotanya kepada Mahkamah Agung dan Menteri menurut Pasal 29 ayat (4) UU Advokat, sehingga secara substantif organisasi harus dapat menjelaskan dalam laporan tersebut bagaimana disiplin profesi ditegakkan, termasuk berapa banyak anggota yang dikenai tindakan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU Advokat dalam tahun yang dilaporkan.

Pada penutupan FGD, Aulia Taswin menggaris bawahi, dalam refleksi akhir tahun 2025, organisasi advokat secara normatif harus mengarahkan perhatian pada penguatan struktur, prosedur, kualitas putusan, dan transparansi Dewan Kehormatan sesuai mandat Pasal 26 dan Pasal 27 UU Advokat, sekaligus mengintegrasikan fungsi pengawasan Pasal 12–Pasal 13 UU Advokat dan kewajiban penindakan Pasal 6–Pasal 8 UU Advokat ke dalam tata kelola organisasi dan pelaporan tahunan yang diatur Pasal 29 UU Advokat. Notulensi FGD Awalindo Education of Law.